Jumat, 02 Maret 2012

tempat nongkrong


ANGKRINGAN



Angkringan. Ya, satu kata ini memang identik sekali dengan daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Angkringan berasal dari kata angkring atau nangkring yang artinya duduk santai. Nangkring dalam bahasa Jawa berarti duduk dengan posisi nyaman, terkadang dengan mengangkat salah satu kaki ke kursi. Angkringan adalah sebuah warung makanan dan minuman berbentuk gerobak yang ditutup dengan terpal atau tenda plastik. Kira-kira delapan orang pembeli bisa mengisi angkringan, terkecuali apabila ia juga memiliki tikar yang cukup luas untuk menampung pembeli yang lain. Penjual angkringan, entah mengapa, selalu dipanggil dengan kata “Lik”, kependekan dari paklik (pak cilik) atau paman.

Saya adalah salah seorang penggemar berat angkringan. Meskipun tidaklah sebetah pengangkring sejati yang kuat ngobrol sampai pagi, namun saya merasakan hangatnya suasana persaudaraan di angkringan. Tahun 2000, hanya dengan bermodalkan seribu rupiah, kita bisa berbagi cerita dan saling menanyakan kondisi masing-masing. Kala itu, nasi kucing (nasi dalam jumlah yang amat sedikit, biasanya dicampur dengan sambal, goreng tempe, atau ikan teri) masih berharga Rp. 250,-. Saya masih ingat, dengan uang Rp.1000 kita bisa makan dua bungkus nasi, satu wedhang teh anget dan dua buah tempe goreng. Namun entah bagaimana kondisi harga saat ini, di tengah-tengah kebijakan yang tidak pada rakyat, mungkin paklik-paklik itu adalah beberapa orang yang paling sabar dengan keadaan.

Angkringan menjadi istimewa karena warga dan interaksi yang terjadi di dalamnya. Angkringan adalah sebuah sistem paling sederhana yang sebenarnya pantas menjadi model untuk hubungan sosial, meskipun tidak bisa mencakup semua aspek. Egaliter atau sederajat adalah ciri khas utama warga angkringan. Kami tidak peduli siapa yang datang ke angkringan. Apabila ia sudah datang ke angkringan, ia harus siap berbaur tanpa memakai jabatan doktor, insinyur, pengacara, haji, atau yang lainnya. Inilah yang membuat warga angkringan menjadi akrab. Belajar mendengar orang lain sekaligus belajar menyampaikan pendapat pun menjadi aktivitas biasa yang tak membosankan, ditemani dua buah ceker ayam dan teh jahe yang kental itu.
Angkrigan adalah tempat wong-wong cilik berkeluh kesah dan ngobrol keadaan negara, sesuatu yang menurut mereka tidak bisa lagi dibayangkan seberapa besarnya. Pendapat mereka kadang-kadang terdengar lucu, kadang kasar, kadang pula menginspirasi tapi satu hal: JUJUR dari hati nurani. Mereka tak seperti para petinggi-petinggi negara yang rela menjual aset negara untuk perut mereka dan keluarganya sendiri. Mereka juga tak seperti politisi yang sibuk bermain kata-kata dan berpendapat di media massa, hanya untuk kepentingan kelompoknya tanpa peduli kebingungan pembaca. Mereka juga tak seperti anggota legislatif yang berkedok agama untuk meraup harta. Mereka pun terlihat ceria, meski sejatinya saya tahu hati mereka tersayat di tengah penghidupan yang semakin sulit dicari. Tapi mereka mencurahkannya dengan santai, sambil terkadang menyeruput teh jahe dan mengunyah kacang goreng. Beban hidup mereka tumpahkan kepada paklik yang setia menemani mereka sampai pagi.

Angkringan menjadi keluarga lain. Saya pernah kecanduan “ngangkring”, sebagaimana beberapa rekan saya kecanduan Facebook dan Plurk yang maya ini. Sampai-sampai ia mengadopsi sebuah budaya Islam yang kini mulai luntur: menanyakan “pengangkring” lain apabila ia tidak kelihatan malam itu. “Dab, Pakdhe Suwarno kok ra kethok iki? Rondha po yo?” (Mas, Pakdhe Suwarno kok tidak kelihatan ini? Sedang ronda kah?) Sederhana bukan?

Angkringan menjadi salah satu jurus ampuh untuk mendekatkan warga kampung ke masjid. Ceritanya, kami bermanuver dengan membuat pengajian angkringan, di mana ustadz dan pembawa acara duduk santai di angkringan, sementara warga diundang untuk duduk di atas tikar di sekitar angkringan dengan menyeruput teh anget dan menikmati kacang godhog. Walhasil, warga jadi ketagihan main ke masjid, sekedar ketemu remaja masjid dan menanyakan, “Mas, kapan madhang-madhang gratis meneh? Kangen je” (Mas, kapan makan-makan gratis lagi? Kangen nih).

Angkringan adalah komunitas yang keren. Bagaimana tidak, seseorang bisa tahan curhat dari jam delapan malam sampai jam tiga pagi hanya ditemani dengan secangkir teh susu dan beberapa buah tempe goreng. Padahal para pejabat itu, hanya berbicara satu jam saja hidangannya bisa dikonsumsi sepuluh orang. Tak nampak ambisi ingin rebutan kursi. Masing-masing boleh nangkring, asal tidak saling mengganggu. Tak nampak ambisi ingin korupsi. Buat pengangkring yang hobi ngutang, ia pasti sering disindir oleh rekan-rekannya. Tak banyak para pejabat tukang ngutang yang tahu tentang hal ini. Mereka justru bangga dengan utang mereka, apalagi jika mereka mengutangkan negara. Hanya komisi yang mereka pikirkan.
Angkringan, ahh….sejuta kenangan di sana. Tapi entahlah, di tengah-tengah permainan politik semu dan kebijakan yang mencekik para pedagang cilik, angkringan tetap setia menemani kami berkeluh kesah.

2 komentar: